Agama Candu Masyarakat?

kolonialisme 4.0

Modernis.co, Malang – Retorika “Die religion ist das opium des Volkes” (Agama Adalah Candu/Opium Masyarakat” tersebut berasal dari seseorang yang bisa di sebut telah mempengaruhi beberapa tokoh besar, termasuk founding father kita, ya dia adalah filsuf asli Jerman, Karl Marx yang lahir pada thn 1818 dan meninggal thn 1883, marx terkenal di kalangan intelektual dan anak muda maupun mahasiswa khususnya, tak bisa di pungkiri bahwa lahirnya perang dingin (cold war) secara signifikan telah terpengaruhi oleh pandangan hasil kritisisme Marx terhadap sistem penindasan yang kerap menghisap keringat kaum buruh, itulah kapitalisme.

Namun sebelum kita masuk lebih dalam lagi, kendati filsafat Marxisme tidak bisa di sebut sepenuh nya berhasil membawa kesejahteraan secara implementasi nya, terutama pada ranah sosial dan politik, karena ada suatu pandangan yang cukup menarik yang bisa kita ambil tempatnya dalam konteks kesadaran praxis masyarakat beragama kontemporer.

Tetapi dalam realisme kehidupan saya juga pernah di tanya teman saya, apakah “apa benar agama adalah candu bagi rakyat kata marx”? Sebenarnya perlu juga mendapatkan tanggapan yang objektif dan komprenhensif mengenai pertanyaan tersebut, karena dalam konteks apa Marx memberikan ucapan kalimat tersebut yang pada kenyataannya telah menjadi pergunjingan di kalangan agamawan?

Apalagi Marx satu pemikiran dengan filsuf asal jerman juga yaitu “Feuerbach” yang beretoris bahwa agama adalah sebuah proyeksi dari manusia belaka, akan tetapi artikulasi filsafat Marx tidak terletak kepada persoalan yang mengandung narasi kritik terhadap agama itu sendiri, karena bagaimana pun manusia secara tidak langsung pasti akan memproyeksikan dirinya sendri.

Dari hal tersebut titik temu nya justru yang di persoalkan adalah agama telah menjelma menjadi penopang untuk melemahkan kaum ploletar (kaum buruh) agar selalu menerima kondisi mereka dengan lapang dada alias apa adanya. Dengan beragama, ketidakadilan terhadap sistem upah dan penghisapan tenaga kaum buruh melahirkan sesuatu yang tidak ada artinya.

Karena realitas nya bukan disposisi penerimaan yang di sebabkan oleh agama seperti ajaran pasrah, sabar dan ikhlas, tetapi output nya materialisme (materi) dari kaum ploletar lah yang seharusnya di rubah secara total. Yang berarti perlu nya revolusi sosial (melawan, menghancurkan dan meruntuhkan dominasi dari kapitalisme itu sendiri), karena itu satu-satunya jalan untuk melahirkan status sosial tanpa kelas.

Meskipun demikian, dalam psikologi politik menyebutkan bahwa revolusi tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebab kekuatan indogtrinasi agama tidak bisa di pandang sepele, karena kaum buruh memiliki keyakinan bahwa keagamaan (sikap pasrah dengan keadaan) konstruktivisme ini sangat sulit untuk di hancurkan. Mengapa? Dari paradigma itulah Marx melahirkan tesis nya yaitu “Agama Adalah Candu”.

Oleh sebab itu kata “candu” harus bisa di pahami bahwa frasa tersebut mengandung logika sebagai disposisi yang bisa mengurangi rasa penderitaan, bahkan ketagihan. Nah dalam konteks kapitalisme sendiri di era Revolusi industri awal, yang di rasakan oleh kaum buruh hanya penderitaan, kesengsaraan dan kemiskinan menyentuh mengenai kesejahteraan ekonomi mereka, di lain sisi telah menciptakan jurang pemisah dirinya dengan aktualisasinya.

Namun alih-alih dapat mengubah kesadaran kaum buruh agar memiliki niat untuk tergugah bangkit melawan dominasi kapitalis, tetapi dengan adanya “candu” bertopeng agama, penderitaan kaum ploletar justru dapat “terobati”, walaupun secara fisik dan material mereka tetap merasakan arti menderita. Oleh sebab itu, bagi Marx “agama” dapat di katakan bukan jalan pembebasan ataupun kebebasan manusia dari penderitaan, melainkan obat bius yang dapat melanggengkan status quo para pemilik modal.

Jika kita tempatkan ke ranah teologis yang sarat akan kurang nya ilmu pengetahuan dan pemikiran sempit, mengenai adanya ajaran sabar, pasrah soal takdir, ikhlas dll, maka saya pastikan bahwa agama bisa di katakan menjadi candu bagi manusia yang hidup nya tidak mau berjuang untuk merubah nasib nya sendri, Apalagi masuk konteks kontestasi dari sosial politik, maka pemikiran Karl Max bisa di katakan memiliki kebenaran.

Secara garis historis sebelum Marx lahir ke dunia, ada seorang politikus terkemuka yang bernama Machiavelli dia pernah mengatakan bahwa agama sebaiknya di fungsikan secara pragmatis untuk mengalahkan lawan politik. Oleh karena itu pada masa perjuangan Karl Marx, agama juga digunakan pemilik modal sebagai “obat penenang”, untuk para pekerja (kaum buruh) , yang pada dasarnya mereka tidak sadar bahwa dirinya telah di eksploitasi keringat nya secara terus – menerus.

Bahkan di era modernisme sekarang ini agama sangat kerap di jadikan sebagai “alat propaganda” politik, apalagi hal itu tidak hanya berlaku pada elite politik saja, dan juga pada oknum tokoh pemuka agama, istilah “kafir” kerap di lontarkan di ruang publik masyarakat, diskriminatif terhadap agama lain, ataupun ras minoritas juga sering merasakan dampak nya yang selalu tersebar melalui media sosial.

Mirisnya, dari konteks tersebut tidak sedikit dari mereka telah mem-percayai bahkan mendukung setiap ucapan para agamawan tersebut, fenomena jelas bisa di katakan bahwa efek “kecanduan” agama memang benar ada, bagi mereka (oknum tokoh agama beserta pengikutnya) yang hobby menghina, mendiskreditkan dan mengkafirkan kelompok minoritas telah terbius oleh paradigma agama yang begitu gelap tetapi dangkal dan sempit.

Dengan begitu adagium “agama adalah candu” dalam abad ke 21 ini bisa di katakan cukup relevan bagi mereka yang merasa kalau kelompok nya sangat suci, sebab mereka akan membasmi, paling tidak dalam pikiran nya adalah menyingkirkan kaum minoritas yang mereka anggap penuh dosa dan tidak suci. Dengan adanya polarisasi penderitaan (merasa terkontaminasi sesuatu yg najis) dapat berkurang, maka disposisi kemlaratan atau penderitaan seperti itu tentu membuat kelompok tersebut akan terus merasa ketagihan.

Jika demikian, saya sepertinya perlu mengulang pertanyaan teman saya di atas, benarkah “Die religion ist das opium des volkes” (agama adalah candu/opium masyarakat)? Menurut saya sendiri bisa di katakan pada situasi dan kondisi tertentu lah retorika tersebut bisa menjadi kebenaran. Akan tetapi secara normative dalam konteks subtansial masih dapat di bantah, bahkan di pertanyakan. apakah benar agama jika di pahami? Di hayati dan di amalkan sesuai esensi nya dengan tepat, merupakan candu bagi rakyat?

Dengan begitu filsafat Marxisme jelas bisa memberikan dampak yang signifikan bagi pemikiran kita terutama dapat mereduksi (menyempitkan) agar mampu masuk ke dalam keluasan agama itu sendiri, karena agama sendiri hanya mengajak dan mengajarkan ilmu untuk ikhlas, sabar, takdir. Namun perlu di ingat kembali bahwa agama telah mewajiban setiap manusia untuk tetap berusaha, berupaya dan selalu berjuang menghadapi ketidakadilan ataupun penderitaan dalam proses melakoni kehidupan.

Letak problematika lain nya pada penderitaaan yang akan di hadapi, karena dalam hal ini pun, seorang filsuf yunani kuno Epikuros pernah memberikan pertanyaan kritisisme, yang dapat di jadikan tolak ukur untuk mengurangi problem tentang ketuhan dan penderitaan yang telah di hadapi oleh manusia utu sendiri.

“Jika Tuhan Ingin mengatasi penderitaan, tetapi tidak mampu, maka Dia tidak Maha Kuasa, jika tuhan mampu tetapi tidak ingin, maka Dia tidak maha penyayang. Tetapi, jika tuhan mampu dan ingin, maka dari mana penderitaan itu? Ataukah tuhan itu tidak mampu dan tidak ingin? Lantas, masih adakah yang namanya tuhan?”

Akhirnya kritik dari Epikuros tentu dampak nya dapat menggoda diri kita agar ingin berpikir lebih dasar dan jauh tentang problem penderitaan dan keutuhanan. Oleh sebab itu sebagai manusia yang beragama, kita pun percaya bahwa tuhan memiliki keinginan maupun kemampuan dalam mengatasi penderitaan manusia. Lantas Epikuros bertanya lagi, dari manakah penderitaan itu berasal nya?

Pernyataan tersebut justru dapat di jawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan lagi, seandainya tuhan itu tidak ada, apakah segala penderitaan yang dialami dan menimpa manusia itu tidak akan pernah ada? Lalu pertanyaan selanjutnya muncul lagi, jika memang penderitaam tetap masih ada seandainya tihan tidak ada, bagaimana dengan perbuatan kebaikan manusia? Bukankah kebaikan itu sumber nya dari tuhan? Apakah kebaikan tetap bisa eksis jika seandainya tidak adanya tuhan?

Secara realitas sui-generis argumentasi teleogis berkata bahwa sumber kebaikan bersifat mutlak dan terarah pada hakikatnya nya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain hati nurani kita sudah berada di bawah alam sadar untuk melakukan kewajiban mutlak yang mengarahkan diri kita menuju kebaikan. Walaupun dengan keadaan senang atu menderita, suka maupun tidak, karena pada akhirnya hati nurani tidak akan pernah bisa di bohongi dari segala hal-hal baik.

Jika manusia telah berbuat keburukan dan menghiraukan hati nurani nya. Akan tetapi isi hati nya yang paling dalam tetap muncul rasa pertanggungjawaban yang akan selalu menghantui isi pikiran nya, karena sifat dari hati nurani hakikat nya terarah kepada segala hal baik di dunia ini

Karena kalau kita urai lagi kewajiban mutlak di pembahasan kita kali ini tidak sama dengan konsep “etika deontologis” yang pernah di kemukakan oleh Immanueal Kant. Hati nurani tidak tunduk pada moralitas (kebaikan), kewajiban moralitas tidak datang dadi entitad materkal di luar diri subjek (misalnya orang dan lingkungan hidup), melainkan secara trsansenden (maksudnya melampauk lahiriah) terarah dan itu berarti tinduk pada sesuatu gang mutlak.

Dari sinilah filsafat Emmanuel Levinas, dia adalah deoranf filsuf asal Ptancis, mendapatkan tempatnya. Subjek dapat membebaskan egonya jika memandang liyan (siapa pun dan apapun yang mengalami penderitaan) sebagai suatu kewajiban yang datanf dari tuhan untuk mendapatkan kebaikan (misalnya dengan saling tolong menolong sesama manusia).

Dengan demikian, lantas jika kebaikan itu datang dari tuhan, apakah penderitaan itu juga berasal dari tuhan? Secara kosmologis-teleologis, segala sesuatu berasal dam mengarah pada pencipta. Demikianlah hal penderitaan, meskipun kita tidak dapat sewenang-wenang memandang penderitaan secara partikular dan sebelah mata.

Alam semesta tidak bekerja secara statis, tetapi mengarahkan dirinya pada yang mutlak secara dialektis. Artinya penderitaan juga merupakan bagian dari keniscayaan sebagaimana kebaikan. Penderitaam (keburukan) dan kebaikan inilah yang menjadi kontestasi umat manusia untuk menguji dirinya apakah mampu membebaskan dirinya dari penderitaan? Apakah dirinya mampu mempertahankan kebaikan ? Apakah dirinya mampu mengatasi/melampaui konsep keburukan dan kebaikan itu sendiri?

Bagi orang uang beriman, agama dalam ini menjadi sarana manusia untuk dapat mengarahkan dirinya pada sang pencipta. Meskipun demikian, agama juga bksa menjadi candu yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan hati nurani dan mengakibatkan diri kita menjadi mabol agama. Oleh seban itu berhati-hatilah!

Oleh : Rasongko Singgih Samiarto (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment